Ngebaca comment Lia di posting gue soal Kehilangan Papa, mo ga mau bikin gue nangis lagi. Cengeng. Bah. Tapi at least sekarang gue bisa lebih menghayati apa yang dibilang novel-novel “hati serasa diiris-iris” atau “bagai disayat sembilu”, tanpa harus mencibir betapa picisannya gaya bahasa satu itu 😀 Kehilangan Papa bikin gue tau apa yang disebut orang “perih dalam hati”. Lo bisa nangis terisak-isak dan ngerasa hati lo perih, kaya ditusuk sesuatu yang tumpul tapi berkali-kali. Untung gue cewe. Setidaknya sah-sah aja gue nangis, ga kaya cowo yang mau nangis aja aturannya seribu macem.
Besok 40 harinya Papa. Tau-tau aja Papa udah 40 hari ga ada di tanah yang sama dengan gue. Tau-tau udah 40 hari HP gue ga berdering di malem buta cuma untuk ditereakkin, ” KAMU DIMANA? KOK GA ADA KABAR???” Gue bersyukur menghabiskan sebagian besar waktu gue di Jakarta, ga kaya dede gue yang tetap berada di rumah sama yang sudah ditinggali bertahun-tahun bersama Papa. (She’s a great sister, ketabahannya luar biasa. Gue yakin one day she’ll get the rewards. I pray for you, sis!) At least kehilangan gue *harusnya* lebih cepet sembuh. Meski penyesalan itu tetep belum pergi sepenuhnya.
Bener kata Lia… “Hidup hanya sekali, dan setiap saat adalah saat kita melambungkan setiap penghargaan, terutama untuk orang-orang yang kita cintai.” Tapi manusia ya manusia… selalu lupa hal itu di saat-saat seharusnya mereka ingat. Ketika bisa spend time ama orang-orang itu, ketika bisa bercanda dan makan bersama, ketika bisa nonton TV bareng… dan ketika-ketika lainnya. Ga usah yang heboh, bombastis, pergi bareng ke Disneyland atau travel bareng ke Singapore…(kaya di iklan-iklan keluarga bahagia itu) just sit together and talk. That’s what Papa always asked us.
Kalo ga salah, gue pernah baca kata-kata bijak Mahatma Gandhi: Hiduplah seakan-akan besok kamu akan meninggal, belajarlah seakan-akan kamu akan hidup seribu tahun lagi. Kalau semua orang bisa hidup seperti itu… gue rasa ga akan ada tuh Komisi Pemberantasan Korupsi. Ngapain nilep duit orang kalo besok mati? Ngeliat Papa di dalam petinya kemarin ini, dengan “bawaan” jas lengkap dengan dasi, sepatu dan kemeja yang dipakainya pas wedding day gue, dua bantal dengan tulisan nama gue n dede gue (bantal masa kecil yang lusuh tapi we’re sure Papa would be glad to have them in his journey), pigura berisi foto Oma – yang sangat Papa sayangi, bantal ala Tempur yang gue beliin sebagai kado Natal pas pertama kali gue dapet gaji sendiri – since Papa rada insomnia, susah tidur, baju-baju casualnya… gue jadi bertanya-tanya, apakah betul, orang meninggal hanya membawa itu?
Kemana kerja keras Papa selama puluhan tahun? Banting tulang, marah-marah ke karyawan, stress berhari-hari ga bisa tidur, bangun subuh nungguin koran dianter (usaha Papa tu usaha distribusi koran & majalah)… betulkah semuanya itu hanya numpang selewat lalu? Mestinya ngga. Tapi… ah, sudahlah.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Next Post

Intelligence of Dogs - Ranking Kepandaian Doggie

Fri Mar 16 , 2007
Share on Facebook Tweet it Share on Google Pin it Share it Email Ranking 1 – 10: Brightest Dogs Understanding of New Commands: Less than […]