Saya ingat pengalaman menarik beberapa bulan lalu di sebuah supermarket menengah ke atas, yang banyak dikunjungi expatriat.
Waktu itu saya melihat seorang gadis cilik usia 4-5 tahunan bersama Mommy-nya, seorang wanita bule berambut blonde tinggi menjulang, yang spontan menarik perhatian orang yang melihatnya. Yang menarik perhatian saya waktu itu adalah gaya si gadis cilik berbelanja. Mengamati rak dengan hati-hati (kebetulan waktu itu saya lagi nyari breakfast stuff di rak yang sama), menimang-nimang kardusnya, berpikir, lalu memasukkannya ke dalam keranjang. Gaya yang berbeda, dibanding anak seumurannya *yang bukan bule* yang selama ini banyak saya lihat di keseharian saya.
Mommy-nya sendiri sibuk di belahan rak yang lain. Sempat si gadis cilik hampir membentur saya, dan dengan spontannya dia bilang, “I’m sorry,” So sweet. Saya ga bisa ga tersenyum. Jadi ingat pengalaman buruk di Diamond Kelapa Gading beberapa tahun lalu, waktu saya belanja dengan Oma saya yang umurnya 90 tahunan. Waktu itu ada insiden Oma ditabrak dua anak kecil yang sedang asik berlari-lari dan menjerit-jerit di toko. Oma jatuh telungkup, menimpa tumpukan box tissue, pelipis berdarah, dan semua orang berteriak kaget… sementara dua anak kecil tersebut boro-boro say “sorry”… nampak batang hidungnya aja ngga.
“Wow… blueberry! Mommy, I want this!” Perhatian saya terpecah ketika si gadis cilik di sebelah kiri saya, memanggil Mommy-nya di rak sebelah kanan. Sang Mama mendekat, mengamati keranjang belanjaan, menggelengkan kepala.
“You’ve already got this, Honey,” katanya, mengangkat sebuah kotak cereal berwarna merah bergambar strawberry. “You cannot have both,”
“But I want this too!”
“You have to choose. Either this or that.” Lalu si Mommy melenggang pergi lagi ke rak yang sebelumnya ia amati.
Tertegun, si gadis cilik mengamati belanjaannya. Matanya berpindah-pindah dari rak ke keranjang belanjaan. Mengangkat kotak cereal merah, membolak-baliknya, lalu mengambil kotak biru dengan gambar blueberry yang dia incar dari rak, memandangi dan menjilat bibirnya (hehehe… ga sadar banget dia kalo saya amati dari tadi ^^). Keliatan banget kalo dia pingin dua-duanya 🙂
Beberapa detik kemudian, ia mengembalikan kotak merah itu ke rak, sebagai gantinya mengambil kotak biru. Sang Mommy yang kemudian datang ke tempatnya melihat kotak biru itu, mengecek harga, “Honey, how about this one? This is cheaper,” lalu mengambil kotak biru lain bergambar raspberry, mengulurkannya ke putrinya. Si gadis cilik kembali menimbang-nimbang, sebelum akhirnya meraih kotak itu dan setuju.
Amazing… melihat anak umur 4-5 tahunan bisa diajak “nego” seperti itu. Dan yang saya suka, tanpa debat, tanpa jeritan, tanpa ancaman “Kalo kamu begitu, kita pulang sekarang!”. Si anak boleh memilih apa yang dia mau, dan memang she did choose. Not her mom. She did it by herself.
Kok bisa begitu ya? Terus terang saya jarang lihat hal ini di keseharian saya…
bisa.. intinya anak kecil jangan dianggap anak kecil, tapi diperlakukan dewasa..
kalo orang indonesia kan biasanya meng-“anak kecil”kan anak kecil, dengan asumsi bahwa mereka ga bisa independent. Padahal mereka bisa lho. misalnya yg gue perhatiin dari anak gue, ternyata dia bisa makan sendiri (meskipun messy). Walhasil, sekarang dia makan sendiri kayak orang gede, minum dari gelas orang gede, sama sekali udah ga disuapin.
Setuju banget sama mbak Rani. Di Indonesia itu kita selalu meng-anak kecil-kan anak2. Mereka dianggap “bukan” manusia yang setara sama kita. Contoh aja, aku masih inget, kalo ngomong sama anak kecil suaranya masih suka di-imut2-in. Padahal kalo kita bicara dengan mindset sejajar, you’ll be amazed on what they capable of doing (pengalaman pribadi nih.. hehehe)