Husky the dog

Kelihatannya saya dapet privileges untuk belajar dari Husky, anjing Siberian Husky saya yang belakangan bandelnya super duper aujubileh ampuuuunnnnnn…!!! (ga usahlah saya ceritain bandelnya. Udah nyaris ngalahin Marley and Me yang bukunya diterbitin Gramedia itoeh) She is 14 months old. Dan dia berhasil membuat saya merasa jadi “orangtua” yang gagal.
Padahal entah udah berapa dog-training book yang saya lahap tuntas, dan saya rasa saya cukup konsekuen menjalankan sebagian besar strategi yang dianjurkan para expert disana. (maklum, waktu baru punya Husky, saya masih belum punya buntut kaya sekarang 🙂 )
Toh komentar adik saya, seorang calon psikolog yang sekarang lagi ngelarin kuliah S2-nya di Fakultas Psikologi Universitas Maranatha Bandung, cukup menohok.
“Elu terlalu ngikutin teori di buku-buku, ‘Ka,” (She calls me IKA, nama panggilan saya)
“Gue cuma ikutin apa kata para dog trainers yang terbukti berhasil. Salah satunya ya jangan ngajar anjing pake kekerasan. Hitting a dog is absolutely no-no. Apa yang salah dengan cara gue?”
“Nah itulah. Lu kebanyakan baca buku. Secara ga semua teori di buku bisa lu terapin ke kasus elu. Kasus setiap orang kan beda-beda. Ada kalanya lu harus kreatif cari cara ga sesuai dengan yang buku bilang,”
“Jadi gue harusnya ngajarin Husky dengan kekerasan?” I know, that’s not the point. Saya cuma kecewa aja dibilang gagal sebagai orangtua. Orangtua seekor makhluk berkaki empat. Dan dari yang selama ini saya baca (lagi-lagi…), kalau seekor anjing nakal, yang salah bukanlah anjingnya tapi ownernya. Si anjing hanyalah bukti nyata ketidakbecusan si owner mendidik.
Kebanggaan yang saya tulis di posting lama saya “Husky udah behave!” pupus. Sekarang saya hanya bisa berharap supaya salah satu teori di buku (ga ada kapok-kapoknya ya saya ini haha) betul adanya: bahwa ini hanya masa pemberontakan ABG-nya Husky, akan berakhir once dia udah getting older. 18 bulan. Urgh, 4 months to go!
Dengan prinsip berpikir positif, saya mencoba melihat ini sebagai sebuah pembelajaran. Dari Husky, saya belajar untuk ga jadi “ibu buku” untuk Aurel kelak. Untuk belajar menyaring segala informasi di luaran dan menemukan teori saya sendiri. Untuk belajar melihat semua kenakalan sebagai sesuatu yang temporary, yang hopefully someday bisa jadi sesuatu yang ‘ngangenin’… Semoga.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Next Post

Berpikir Beda Dari Biasa

Wed Dec 5 , 2007
Share on Facebook Tweet it Share on Google Pin it Share it Email Saya suka banget tulisan Samuel Mulia yang rutin dimuat di Kompas. Unik, […]