Posting saya kemarin – soal gadis cilik 4-5 taunan yang bisa tampak begitu dewasa di supermarket – hari ini berlanjut dengan email obrolan ringan dengan tante saya di Amrik. Tante saya seorang single-mother, yang mendidik anak perempuannya sendiri sejak perceraiannya bertahun-tahun lampau, dengan lokasi berpindah-pindah, sebuah tantangan yang ga gampang. Seingat saya, umur 6 taunan adik sepupu saya ini udah ga terhitung banyaknya naik pesawat sendirian, berhubung orangtuanya lintas bangsa (mamanya orang Indo dan papanya orang Hongkong) dan tinggal di belahan dunia yang berbeda.
Lagi, tante saya ini adalah salah satu orang yang saya admire. She’s independent, smart, knows what she wants (and how to achieve them), dan di usianya yang 50 tahunan ini, saya rasa dia udah membuktikan kalo dia bisa mendidik anaknya jadi gadis remaja yang amazing… even though ada stereotype khas Indo yang bilang bahwa anak sebuah keluarga broken-home biasanya akan gagal di kemudian hari – yang membuat banyak orang akhirnya memilih bertahan di neraka pernikahan daripada menanggung rasa bersalah akan kegagalan sang anak yang sudah diprediksi (even oleh pihak luar yang sebenernya ga ada hubungannya!) itu.
Ada share tante yang bagi saya sangat menarik.
“Di Asia: anak = milik orang tua. Anak diperlakukan seperti barang, bila dipuji orang, sang orang tua akan sedapat mungkin bersikap merendah. Contoh: Wah, Ani hebat main pianonya! Ortu: Ah, itu sih kebetulan. Si Ani males anaknya, gak pernah berlatih, maen boneka melulu kalau gak nonton tv… (My, bener juga. Saya sering tu denger kaya gitu… lalu si pemuji akan mencoba membantah balik, “Ah masa sih? Kalo gitu emang udah bakat kali ya…” dst dst dst)
Sementara di Barat, anak = sosok tersendiri. Contoh: Wah, Ani hebat ya main pianonya! Ortu: Yup, she did it great. We’re proud to be her parents. Anak bukan milik orang tua. Dia adalah pribadi bebas, yang kalau berhasil ya berhasil, kalau gagal pun ngga sepenuhnya salah orang tua.”
Sebuah contoh sederhana. Sama halnya seperti training-training motivasi yang beberapa kali saya ikuti… ‘Kalau dipuji, sebenarnya kita ga usah sibuk merendah dan menentang pujian itu. Terimalah pujian itu dengan senang hati dan katakanlah terima kasih.’ Kenyataannya, ga gampang untuk bisa seperti itu setiap saat… Apalagi kalo berhadapan ama generasi lama yang masih expect basa-basi kerendahan hati dan malah bengong kalo kita dengan PDnya bilang makasih :))
Perbedaan budaya lagikah yang jadi kambing hitam?
Bener banget.. dan bener, ga mudah, karena di budaya kita kalo kita terima pujian malah takut dikira sombong..