6 Feb 2007. Tepat 7 hari sesudah papa pergi. Minggu lalu, tepat 7 hari yang lalu, jam ini, saya berada di rumah duka, menemani setiap tamu yang datang, saying thanks for their special efforts to come, tersenyum untuk setiap penghiburan yang diterima, dan berkisah soal saat-saat terakhir papa pegi.
7 hari yang lalu, kehilangan yang ada mungkin belum terlalu terasa, ga seperti hari ini, ketika ruang yang biasanya dibagi untuk sebuah sosok jangkung kurus berkeriput, harus diisi dengan rongga kosong dan usaha untuk menghadirkan bayangan sosok itu kembali. Sudut yang biasa diduduki sosok itu – di depan TV – hanya diisi tumpukan bantal. Kosong.
I’m writing this in tears. Boleh ‘kan, karena saya sudah berjanji ga akan menangis di depan Mama atau adik saya lagi. Saya anak tertua. Kalau saya menangis, ada yang akan lebih sedih. Setidaknya itu kata Sugih. Mau ga mau, suka ga suka, life must go on. Saya ga boleh cengeng, ga boleh terus menangisi kepergian seseorang yang “sudah waktunya” dipanggil. Meskipun “sudah waktunya” itu belum bisa saya terima sampai hari ini. Meskipun sebetulnya saya masih ingin semuanya ini hanya mimpi buruk.
Besok saya akan bangun pagi, mendapati Papa duduk di meja makan, menyeruput kopi pahit dan roti tawar sambil baca koran dengan celana pendek putihnya. Jam 8 pagi Papa akan masuk kamar mandi, dan biasanya di waktu-waktu itu telepon mulai berdering dan tamu Papa mulai berdatangan. Saya akan berteriak memanggil Papa – yang biasa dibalas dengan bentakan karena Papa paling ga suka diajak bicara ketika ada di kamar mandi – dan saya akan mengerutkan wajah tidak suka. Papa saya bekerja dari rumah, karena itu ia selalu ada di rumah, kecuali kalo kegiatan tennis 2 kali seminggunya – satu-satunya aktivitas yang membuat Papa “mau” meninggalkan rumah – tiba. Dan saya tidak menghargai privileges itu. Privileges yang membuat saya *harusnya* punya banyak waktu bersama Papa.
Itu rutinitas 5 tahun yang lalu, sebelum Februari 2002 saya meninggalkan Bandung untuk “mencari pengalaman” bekerja di Jakarta. Keputusan bulat yang ga saya sesali – bahkan mempertemukan saya dengan Sugih yang sekarang jadi suami saya. Kalo direnungkan sekarang, aneh, Papa ga melarang keputusan saya ke Jakarta. Untuk seorang papa seperti papa – yang sangat kuatir pada kami anak-anaknya – itu hal yang ga biasa. Pun, saya ga menganggap itu sebuah privilege.
Sampai 30 Januari 2007 itu datang.
Menunggu Papa ditangani suster-suster rumah sakit dengan bunyi alat-alat medis yang berkepanjangan, berdiri di balik tirai putih tertutup dengan debat tenaga medis di dalamnya – jadi trauma buat saya. Jam 6 pagi, ketika saya terbangun kaget di sofa bed, saya merasa aneh – saya kaget melihat sosok Papa terbaring dengan tenangnya di ranjang rumah sakit, dengan Mama di sampingnya – yang panik memanggil suster. Saya sempat bilang pada Mama dan adik saya di luar kamar – “Prepare for the worst…” sampai para petugas berbaju putih itu bilang, “Maaf, kami sudah berusaha semaksimal kami,” Pukul 06.55 WIB.
Sekarang, kalau saya ditanya kronologis Papa meninggal, terus terang jiwa saya sudah enggan bercerita. Buat saya, itu hanya mengingatkan saya pada detik-detik di rumah sakit – detik-detik yang saya benci – dengan suara alat medis berkepanjangan, kepanikan suster dan dokter jaga, sampai akhirnya Papa pergi. Masih belum rela rasanya. Apakah kami tidak bisa berbuat lebih? Apakah memang Tuhan sudah memanggil Papa? Atau kami yang tidak melakukan apa yang seharusnya?
Pertanyaan orang tak beriman. Tak seharusnya saya mempertanyakan sebuah kematian. Papa sudah 69 tahun – saya bahkan tertawa geli ketika suster rumah sakit memanggilnya Opa. Padahal harusnya saya sangat sadar, di usia itu harusnya saya siap dengan segala kemungkinan. Ketika Papa tanya kenapa saya datang dari Jakarta hari Minggu itu – ketika Papa masuk rumah sakit – saya bercanda dan bilang, “Kalau bos manggil, mana bisa menolak?” dan saya sedih mengingat waktu itu saya menganggap tidak akan terjadi apa-apa dengan Papa.
Teman-teman saya bilang – sekarang Papa ada di dekat kami, jauh lebih dekat dari sebelumnya. Papa is watching over me & my family, tapi entah kenapa dada ini masih terasa sesak setiap mengingat senyum Papa – yang saya bilang sok lucu – di foto pernikahan saya, yang akhirnya jadi foto yang kami perbesar untuk dipigura di depan peti Papa. Air mata ini masih turun dengan deras, dan penyesalan demi penyesalan semakin meyakinkan saya – saya belum rela Papa pergi.
Bukan berarti hubungan saya dengan Papa seindah dongeng dan kisah sinetron soal sebuah keluarga bahagia. Saya yang paling banyak berantem dengan Papa. Entah berapa kali Papa mengusir saya dari rumah. Tapi toh saat ini saya tidak bisa mengingat semua itu. Yang saya ingat hanya senyum Papa, permintaan Papa untuk duduk ngobrol di depan TV, yang sering saya abaikan karena “ada hal lain yang lebih penting”, telepon-telepon Papa ketika saya sudah sibuk di Jakarta, yang menanyakan kapan saya akan pulang ke Bandung – dan saya jawab dengan “Belum ada plan nih Pa”… kenapa saya tidak lebih banyak meluangkan waktu?
Papa saya seorang “macan”… orang yang dengan keras berteriak kalau ada sesuatu yang tidak disukainya. Papa saya orang yang banyak bentrok dengan orang – karena Papa frontal kalau ada hal yang tidak sesuai dengan logikanya. Papa saya orang yang keras – mungkin itu yang menurun dalam diri saya. Tapi Papa saya orang yang sensitif, orang yang sangat peduli pada keluarga dan anak-anaknya, orang yang mencintai kami lebih dari segalanya.
Ada satu buah missed call papa, seminggu sebelum papa pergi, di HP saya. Pukul 00.30 pagi, tanggal 22 Januari 2006. Missed call yang tidak mau saya buang dari HP saya, karena itu satu-satunya kenangan terakhir Papa menelepon saya.
Dulu – di tengah segala kemarahan saya pada Papa di masa lalu – saya sering bertanya, “Apakah saya sayang Papa?” setelah Papa pergi, setelah kenangan yang ada tinggal jepretan-jepretan foto di album pernikahan saya, setelah saya merasa kosong ketika menatap sudut-sudut tempat Papa biasa berada di rumah, saya tahu… tidak ada anak yang tidak bisa tidak menyayangi ayahnya… and I wish, I really wish that Papa knows it.
Papa ada dimana? Itu yang selalu saya tanyakan dalam hati, ketika melihat jenazah Papa di peti. Rambut Papa yang tipis sudah memutih, Papa terlihat lebih tua dari usia sebenarnya. Sudahkah saya membuat Papa saya bahagia? Sudahkah Papa bahagia dan lega melihat saya sekarang ini? Sudahkah Papa merasa dicintai oleh saya?
Papa dimana? Kalau papa dengar, tolong Papa jawab, supaya sesal ini boleh sedikit pergi, dan saya belajar merelakan Papa lebih baik lagi…
Dear Monik,
Ini kali ke 3 gw membaca tulisan elu soal kepergian bokap elu…
dan ini kali ke 3 pula… air mata tidak tertahan berjatuhan dari mata gw…
gw ngga pernah ketemu bokap elu, sekali-sekalinya… ya pas elu menikah tahun lalu.
Tapi mgkn krn gw masih punya seorang bokap yang masih hidup, dan sangat dekat sama gw… rasa takut kehilangan dia, menyusup di hati ini.
Memang benar… kadang sulit menghargai sesorang yang teramat dekat dengan kita. Tapi saat penghargaan itu tidak sempat kita lantunkan, rasanya… lebih sulit lagi menerima kenyataan itu.
I am sorry, i can not be there with you, in the sad time of ur life.
Kadang kata-kata apapun tidak dapat mengusir rasa kehilangan dan sesal hati kita…
tapi rasanya… setiap orang tua pasti ‘cherish’ setiap saat yang mereka punya dengan anak-anak mereka…
kita semua belajar…
gw belajar…
bahwa hidup hanya sekali, dan setiap saat adalah saat kita melambungkan setiap penghargaan, terutama untuk orang-orang yang kita cintai.
my pray for you.
Lia…….. lo bikin gue nangis lagi neh :(( Yes, I did wish all my best friends were there for me on that day, but I’m not crazy enough to be mad when it didn’t happen… Hehe. Ngerti kok. Thanks a lot udah doain… itu berarti banyak. Thanks!!! – Montan