Sounds negative, I know. But truth is often hard.
Kepedulian akan orang lain sepertinya cuma valid antara orangtua ke anak, that’s it. Sisanya it’s all about transactional relationship. You give what I want, I’ll give you what you want. You didn’t give what I want, well, why should I give you what you want?
Urusan suami-istri juga sama aja. Cinta itu adanya di awal-awal, setelahnya semua kembali ke logika. Perasaan bisa jadi masih ada, tapi akan sangat tergantung pada bagaimana “that transactional relationship” terjadi. Kalau dirasa saling menguntungkan, cintanya bisa terpelihara. Kalau ngga, ya it’s a matter of how the person is commited enough untuk mempertahankan.
Got this from Quora:
Ada seorang teman di dunia virtual yang selalu bilang “hidup itu soal kepantasan”, you’ll get someone you deserve. Kalau mau dapet seseorang yang menurut kamu pantes, pantesin dulu diri kamu. Konsep ini masih agak ngawang di saya sih. Karena dulu saya lihat sendiri gimana orangtua saya struggle urusan bahtera rumah tangga.
Apakah mama saya dulu ga pantas untuk papa saya, sehingga hukum kepantasan itu ga berlaku buat beliau? Kok rasanya who am I to judge, meski at some points saya setuju sih bahwa ada beberapa point yang mama saya mungkin kelolosan, sehingga akhirnya respek yang dimiliki awal-awal oleh papa saya pun mulai mrotol.
Tapi kembali lagi, kalau orang tidak memikirkan diri sendiri, sebetulnya seharusnya itu ga usah terjadi. Dan se-noble apapun seseorang, admit it, it’s what you get from the other person yang akan membuat kita bertahan dengan orang tersebut atau ngga.
Just a matter of time.
ngga bisa komen deh kalo soal yang satu ini.. memang pengikat paling kuat ya komitmen.. kalo nikah nya di gereja ya kita komitmen nya di depan Tuhan..
Why oh why ga ada icon ‘LIKE’ doang di blog? 😀
Pake icon aja..
And, why oh why, mau ngereply aja kudu input nama, email, dll.. 😀